Assalamu'alaikum teman-teman,
g. Ilmu Adalah Kebaikan Di Dunia
Mengenai firman Allah Ta’ala,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
"Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia"
Al-Hasan (wafat th. 110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah.”
Dan firman Allah,
وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً
“Dan kebaikan di akhirat.” [Al-Baqarah: 201]
Al-Hasan rahimahullaah berkata, "Maksudnya adalah Surga."
Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang
bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat
di atas.
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 141) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/229-230, no. 252 dan 253)
Ibnu Wahb (wafat th. 197 H) rahimahullaah berkata, "Aku mendengar
Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah berkata, "Kebaikan di dunia adalah rizki
yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga."
Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230, no. 254).
h. Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu
Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
… إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ
مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ
رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ
الْـمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا
فَهُوَ صَادِقُ النِّـيَّـةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا
لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُـمَا سَوَاءٌ،
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا فَهُوَ
يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا
يَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا
بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا
عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ
بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَا سَوَاءٌ.
“…Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang:
(1) seorang hamba
yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah
dalam hartanya, dengannya ia menyambung sila-turahmi, dan mengetahui hak
Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi
Allah).
(2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan
harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki
harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia
dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama.
(3) Seorang hamba yang
Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat
mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak
menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di
dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi
Allah). Dan
(4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga
ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan
seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan
keduanya sama dalam mendapatkan dosa.”
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231),
at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189),
al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam
Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah
al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270,
no. 1894).
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membagi penghuni dunia menjadi
empat golongan. Golongan yang terbaik di antara mereka adalah orang yang
diberikan ilmu dan harta; ia berbuat baik kepada manusia dan dirinya
sendiri dengan ilmu dan hartanya.
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 252-253).
i. Orang Yang Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى
يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ؛ فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ،
وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، ثَلَاثُ خِصَالٍ
لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ
ِلِله، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ الْأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ؛
فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ. وَقَالَ: مَنْ كَانَ
هَمُّهُ الْآخِرَةَ؛ جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ
قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ
نِيَّتُهُ الدُّنْيَا؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَجَعَلَ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا
كُتِبَ لَهُ.
“Semoga
Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan
sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada
orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami.
Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham
darinya.
Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih
(dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan sesuatu dengan
ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang
teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi
orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan
mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan
mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya
mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan
kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa
yang telah ditetapkan baginya.”
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/183), ad-Darimi
j. Menuntut Ilmu Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana Mujahid Di Jalan Allah Ta’ala
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
,
مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ
لِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْـمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَمَنْ دَخَلَهُ
لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ.
“Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan
tujuan mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka ia laksana orang
yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memasukinya
dengan tujuan selain itu, maka ia laksana orang yang sedang melihat
sesuatu yang bukan miliknya.”
Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 87-at-Ta’liiqaatul
Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Abi Syaibah
(no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah radhiyallaahu
‘anhu.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:
- berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat)
dan agama yang benar (amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai
kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengannya.
- berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.
- berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.
- berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan
sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan
dakwah itu semata-mata karena Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani.
Abu Darda Radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa berpendapat
bahwa pergi mencari ilmu tidak termasuk jihad, sungguh, ia kurang
akalnya.”
Berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad
dengan pedang dan tombak. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallaahu
‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur-an melawan orang-orang
kafir.
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al-Qur-an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqaan:
52]
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan berjihad melawan
orang-orang kafir dan munafik dengan cara menyampaikan hujjah (dalil dan
keterangan).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil)
dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.”
k. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah
Radhiyallaahu ‘anhu, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ:
صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو
لَهُ.
“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus,
kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang mendo’akannya.”
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).
Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu
serta besarnya buah dari ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima
oleh orang yang bersangkutan selama ilmunya diamalkan orang lain.
Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Ini disamping
kenangan dan sanjungan yang dialamatkan kepadanya. Tetap mengalirnya
pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah terputus dari
manusia adalah kehidupan kedua baginya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mengkhususkan ketiga
hal di atas yang pahalanya tetap diterima oleh si mayit karena ia (si
mayit) adalah penyebab keberadaan ketiga hal tersebut. Karena ia menjadi
sebab terbentuknya anak shalih, shadaqah jariyah, dan ilmu yang
bermanfaat, maka pahalanya tetap mengalir kepadanya. Seorang hamba
mendapatkan pahala karena tindakannya langsung atau tindakan yang
dilahirkan (tindakan tidak langsung) darinya. Kedua prinsip ini
disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya.
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا
مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ
الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ
بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Yang demikian itu ialah karena mereka (para Mujahidin) tidak ditimpa
kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula)
menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan
tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan
dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah
tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [At-Taubah:
120]
l. Dengan Menuntut Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar,
Mendapatkan Pemahaman Yang Benar, Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.”
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).
Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca
Al-Qur-an dengan tadabbur dan tafakkur. Karena hal itu mengumpulkan
semua kedudukan orang yang berjalan kepada Allah, keadaan orang-orang
yang mengamalkan ilmunya, dan kedudukan orang-orang yang bijaksana. Hal
inilah yang mewariskan rasa cinta, rindu, takut, harap, kembali kepada
Allah, tawakkal, ridha, penyerahan diri, syukur, sabar dan segala
keadaan yang dengannya hati menjadi hidup dan sempurna.
Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat dalam membaca
Al-Qur-an dengan tadabbur, maka ia akan lebih menyibukkan diri dengannya
daripada selainnya. Apabila ia melewati ayat yang dibutuhkannya untuk
mengobati hatinya, maka ia akan mengulang-ulangnya meskipun sampai
seratus kali, walaupun ia menghabiskan satu malam.
Membaca Al-Qur-an
dengan memikirkan dan memahaminya lebih baik daripada membacanya sampai
khatam tanpa mentadabburi dan memahaminya, lebih bermanfaat bagi hati
dan lebih membantu untuk memperoleh keimanan dan merasakan manisnya
Al-Qur-an. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkannya adalah pokok kebaikan
hati.
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262)
Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Al-Qur-an diturunkan
untuk diamalkan, maka jadikanlah membacanya sebagai salah satu
pengamalannya.
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).