. Keutamaan Menuntut Ilmu 2:Al Minhaj

Keutamaan Menuntut Ilmu 2

Bookmark and Share

Assalamu'alaikum teman-teman,
yak,. postingan ini adalah lanjutan dari materi Keutamaan Menuntut Ilmu 1 yang sebelum nya di posting. semoga bermanfaat


g. Ilmu Adalah Kebaikan Di Dunia

Mengenai firman Allah Ta’ala, 

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً

"Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia"
Al-Hasan (wafat th. 110 H) rahimahullaah berkata, “Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah.”

Dan firman Allah,

وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً

“Dan kebaikan di akhirat.” [Al-Baqarah: 201]
Al-Hasan rahimahullaah berkata, "Maksudnya adalah Surga."
Sesungguhnya kebaikan dunia yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, dan ini adalah sebaik-baik tafsir ayat di atas.
  
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 141) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/229-230, no. 252 dan 253)


Ibnu Wahb (wafat th. 197 H) rahimahullaah berkata, "Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah berkata, "Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga."

Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230, no. 254).


h. Ilmu Adalah Jalan Menuju Kebahagiaan

Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Shahabat Abu Kabasyah al-Anmari (wafat th. 13 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

… إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْـمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّـيَّـةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُـمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ ِللهِ فِيْهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَا سَوَاءٌ.

“…Sesungguhnya dunia diberikan untuk empat orang:
(1) seorang hamba yang Allah berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, dengannya ia menyambung sila-turahmi, dan mengetahui hak Allah di dalamnya. Orang tersebut kedudukannya paling baik (di sisi Allah).

(2) Seorang hamba yang Allah berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama.

(3) Seorang hamba yang Allah berikan harta namun tidak diberikan ilmu. Lalu ia tidak dapat mengatur hartanya, tidak bertaqwa kepada Allah dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dengannya, dan tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Kedudukan orang tersebut adalah yang paling jelek (di sisi Allah). Dan

(4) seorang hamba yang tidak Allah berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Ia berniat seperti itu dan keduanya sama dalam mendapatkan dosa.”

Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXII/345-346, no. 868-870), dari Shahabat Abu Kabsyah al-Anmari radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1894).


Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membagi penghuni dunia menjadi empat golongan. Golongan yang terbaik di antara mereka adalah orang yang diberikan ilmu dan harta; ia berbuat baik kepada manusia dan dirinya sendiri dengan ilmu dan hartanya.

Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarfuhu (hal. 252-253).


i. Orang Yang Menuntut Ilmu Akan Dido’akan Oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam

 Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ؛ فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ ِلِله، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ الْأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْـجَمَاعَةِ؛ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ. وَقَالَ: مَنْ كَانَ هَمُّهُ الْآخِرَةَ؛ جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ.

“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadits dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun ia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih kepada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki dan keberkahan), yaitu melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasihati ulil amri (penguasa), dan berpegang teguh pada jama’ah kaum Muslimin, karena do’a mereka meliputi orang-orang yang berada di belakang mereka.” Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya.”
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/183), ad-Darimi
j. Menuntut Ilmu Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana Mujahid Di Jalan Allah Ta’ala

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda

, مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ لِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْـمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ.

“Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, maka ia laksana orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.”

 Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 87-at-Ta’liiqaatul Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Abi Syaibah (no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.


Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:
  1. berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengannya.
  2. berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.
  3. berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.
  4. berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani.


Abu Darda Radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi mencari ilmu tidak termasuk jihad, sungguh, ia kurang akalnya.”


Berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur-an melawan orang-orang kafir.

 فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur-an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqaan: 52]


Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik dengan cara menyampaikan hujjah (dalil dan keterangan).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.”

k. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia

Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ.

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus, kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.”

 Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).

Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu serta besarnya buah dari ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima oleh orang yang bersangkutan selama ilmunya diamalkan orang lain. Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Ini disamping kenangan dan sanjungan yang dialamatkan kepadanya. Tetap mengalirnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal perbuatan telah terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mengkhususkan ketiga hal di atas yang pahalanya tetap diterima oleh si mayit karena ia (si mayit) adalah penyebab keberadaan ketiga hal tersebut. Karena ia menjadi sebab terbentuknya anak shalih, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat, maka pahalanya tetap mengalir kepadanya. Seorang hamba mendapatkan pahala karena tindakannya langsung atau tindakan yang dilahirkan (tindakan tidak langsung) darinya. Kedua prinsip ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya.

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Yang demikian itu ialah karena mereka (para Mujahidin) tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [At-Taubah: 120]

l.  Dengan Menuntut Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar, Mendapatkan Pemahaman Yang Benar, Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.”

 Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).


Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca Al-Qur-an dengan tadabbur dan tafakkur. Karena hal itu mengumpulkan semua kedudukan orang yang berjalan kepada Allah, keadaan orang-orang yang mengamalkan ilmunya, dan kedudukan orang-orang yang bijaksana. Hal inilah yang mewariskan rasa cinta, rindu, takut, harap, kembali kepada Allah, tawakkal, ridha, penyerahan diri, syukur, sabar dan segala keadaan yang dengannya hati menjadi hidup dan sempurna.
Seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat dalam membaca Al-Qur-an dengan tadabbur, maka ia akan lebih menyibukkan diri dengannya daripada selainnya. Apabila ia melewati ayat yang dibutuhkannya untuk mengobati hatinya, maka ia akan mengulang-ulangnya meskipun sampai seratus kali, walaupun ia menghabiskan satu malam. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkan dan memahaminya lebih baik daripada membacanya sampai khatam tanpa mentadabburi dan memahaminya, lebih bermanfaat bagi hati dan lebih membantu untuk memperoleh keimanan dan merasakan manisnya Al-Qur-an. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkannya adalah pokok kebaikan hati.

Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262)


Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Al-Qur-an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah membacanya sebagai salah satu pengamalannya.

 Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }